Paradigma Akuntansi Syariah di Indonesia
Setiap manusia memiliki cara pandangnya masing-masing, untuk itu ada pepatah mengatakan “rambut sama hitam tak berarti sama pemikiran” hal ini karena dipengaruhi cara pandang, lingkungan dan juga pengalaman yang didapatkan. Nah cara pandang yang digunakan oleh seseorang untuk memahami sesuatu disebut dengan paradigma atau berasal dari kata paradigm. Pandangan ini akan membantu kita dalam memahami satu buah istilah atau hal dengan cara yang sama. Hal ini juga berlaku pada akuntansi khususnya akuntansi syariah.
Baca:
Seberapa penting kesamaan pemahaman merupakan tujuan utama adanya paradigma. Dalam kasus akuntansi syariah, kesamaan pemahaman sangatlah penting, mengingat prinsip yang digunakan adalah prinsip agama. Dimana semua orang harus memiliki pedoman resmi untuk menyetarakan cara pandang. Jika membicarakan syariah, maka yang dibicarakan pedoman terbaiknya adalah Al Quran, yang menjadi kitab suci umat Islam. Selain itu, ada beberapa referensi lain yang bisa terkait dengan syariah dan juga segala peraturan prinsip islamnya.
Membicarakan mengenai Paradigma Akuntansi Syariah, ada beberapa ahli yang mengembangkan teori yang tepat mengenai paradigma. Dimana ada ahli akuntansi yakni Burrell & Morgan (1979) yang telah membuat empat paradigma teori akuntansi yang diturunkan dari teori sosiologi, yaitu funtionalist paradigm, interpretative paradigm, radical humanis paradigm, dan radical structuralist paradigm. Sedangkan untuk ahli akuntansi lain, yaitu Chua (1986) lebih menyederhanakan paradigma akuntansi menjadi tiga, yaitu mainstream (positivist) paradigm, interpretative paradigm, dan critical paradigm. Meskipun berbeda, disini bisa dilihat bahwa kedua ahli akuntansi mengutamakan pandangan atau kesamaan teori dengan cara terstruktur untuk bisa dipahami oleh orang akuntansi lainnya.
Baca:
Kemudian ada Sarantakos (1993) yang menambahkan satu paradigma lagi dari paradigma yang dikembangkan Chua, yaitu postmodernist paradigm, mengingat sekarang ini masyarakat di dunia sering dikatakan sebagai masyarakat Modern. Hal ini berdampak pada transaksi dan hal yang dilakukan oleh masyarakat jaman sekarang ini.
Jika akuntansi lain hanya mengkaji dari sisi konseptual semata, namun berbeda dengan paradigma yang paling dominan yakni paradigma positivisme. Dimana kajian akuntansi ini mengkaji tidak hanya dari satu sisi saja, namun juga secara empiris yang mewakili akuntansi secara keseluruhan.
Meksipun banyak yang membantah dan mendapatkan pro dan kontra, saat ini dikembangkan paradigma yang menyambungkan antara paradigma dalam akuntansi dan paradigma lainnya. Paradigma ini disebut sebagai multiparadigma. Adanya beberapa paradigma ini menjadikan akuntansi dikembangkan dari banyak sudut pandang yang berbeda yang bisa saling mendukung dan menguatkan.
Baca:
Lalu bagaimana Paradigma Akuntansi Syariah ?
Lahirnya akuntansi syariah berawal dari pandangan syariah yang mengiblat pada prinsip agama Islam. Dalam KDPPLKS (Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah) dijelaskan jika akuntansi syariah sudah berlandaskan pada paradigma dasar jika alam semesta diciptakan oleh Tuhan sebagaimana amanah atau keridhoan tuhan sebagai sarana kebahagiaan hidup bagi seluruh umat manusia yang tak hanya mengejar duniawi namun juga memikirkan keridhoan tuhan dalam melakukan transaksi kehidupan.
Paradigma syariah menekankan setiap aktivitas umat manusia hanya memiliki akuntabilitas dan nilai ilahiah yang memang menempatkan perangkat syariah dan juga akhlak sebagai parameter yang memang baik dan juga buruk. Selain itu paradigma ini akan membentuk akan membentuk integritas yang memang membentuk terbentuknya karakter tata kelola yang sangat baik dan juga disiplin pasar atau biasa disebut market discipline yang sangat baik.
Baca:
Berbicara mengenai syariah merupakan ketentuan hukum Islam yang memang mengatur semua aktivitas umat manusia yang memang berisi perintah dan juga larangan atau hal yang menyebabkan “dosa”. Prinsip syariah mengikat bagi semua stakeholder dalam akuntansi syariah, sedangkan akhlak merupakan norma dan etika yang berisi nilai moral, agama dan juga nilai lainnya yang saling menguntungkan, sinergi serta harmonisasi yang melengkapi.
Paradigma yang digunakan dalam akuntansi syariah adalah paradigma syariah. Memandang teori dan praktek akuntansi dari sudut pandang syariah, maka segala ketentuan dalam akuntansi syariah harus mengacu pada ketentuan syariah.
Baca:
Syariah sendiri memiliki beberapa prinsip yang harus diaplikasikan dalam setiap transaksi atau prinsip yang harus ada diantaranya adalah : 1) Persaudaraan (ukhuwah); 2) Keadilan (‘adalah); 3) Kemaslahatan (maslahah); 4) Keseimbangan (tawazun); dan 5) Universalisme (syumuliyah).
Transaksi syariah juga menjunjung tinggi nilai demokrasi serta kebersamaan untuk dapat memperoleh manfaat tinggi, sehingga seseorang tidak boleh mengambil keuntungan hanya sebelah pihak saja. Sebagai seorang pelaku ekonomi tentu saja memiliki atau mendapatkan manfaat dan keuntungan sangatlah diharapkan, namun jika merugikan pihak lain bukan adil namanya.
Baca:
- Standar Akuntansi Syariah
- Perbedaan Laporan Keuangan Syariah dan Konvensional
- Prinsip Akuntansi Syariah
Sayangnya kejadian transaksi seperti ini terjadi di transaksi ekonomi konvensional. Maka dibuatlah program syariah yang dianggap mewakili keinginan dan kebutuhan banyak orang termasuk sharing economics seperti manfaat. Implementasi keadilan dalam kegiatan usaha berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur:
1) Riba (unsur bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik riba nasiah maupun fadhl);
2) Kezaliman (unsur yang merugikan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan);
3) Maysir (unsur judi dan sikap spekulatif);
4) Gharar (unsur ketidakjelasan); dan
5) Haram (unsur haram baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas operasional terkait).
Perkembangan praktik keuangan syariah salah satunya adalah lembaga perbankan dan beberapa lembaga lainnya dengan prinsip syariah. Baik level internasional maupun nasional, syariah sudah mulai digunakan dan juga mulai diaplikasikan. Mengingat setelah dikaji syariah memang memiliki banyak keuntungan.
Perkembangan ekonomi islam di Indonesia juga demikian cepat, khususnya sektor perbankan, asuransi, dan pasar modal. Jika pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan perbankan syariah masih belasan. Maka menjelang akhir tahun 2009 terdapat 5 Bank Umum Syariah (BUS) , 24 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 137 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Bahkan, aset perbankan syariah yang awalnya belum mencapai Rp 1 Triliun, maka setelah hampir 20 tahun telah melesat mendekati angka Rp 58 Triliun.
Jika lihat dari sisi lainnya, terdapat perkembangan LKS selayaknya asuransi syariah. Melihat kembali pada tahun 1994, mereka hanya atau baru saja mendirikan dua buah perusahaan yaitu Asuransi Takaful Keluarga dan Takaful Umum, kini telah berjumlah 38 perusahaan asuransi syariah (Data AASI, 2009). jika dilihat lagi data di 2007 lalu menunjukan bahwa perusahaan-perusahaan akuntansi syariah ini mampu mengumpulkan premi sebesar Rp 1,2 Triliun dengan total aset sekitar Rp 1,9 Triliun.
Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai-nilai agama telah mampu dibawa kedalam pijakan bisnis. Animo masyarakat yang tinggi kearah perbankan syariah menandakan bahwa masyarakat telah sadar akan kebutuhan spiritual dalam kehidupannya termasuk permasalahan dan sistem ekonomi di dalamnya.
Adapun faktor lainnya seperti sistem ekonomi, sosial, politik , kultur persepsi dan lainnya memberikan efek yang sangat besar terhadap akuntansi ataupun sebaliknya. Dengan begitu hal ini membuktikan bahwa transaksi ekonomi adalah kegiatan yang sangat disorot kepentingan dan maknanya, dan memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan manusia.
Karateristik Transaksi Syariah
Membicarakan mengenai transaksi yang ada menurut sudut pandang, harus ada karakteristik atau persyaratan yang bisa diimplementasikan dan diaplikasikan. Adapun karakteristiknya antara lain :
- Karateristik hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling rida,
- Prinsip kebebasan transaksi diakui sepanjang objeknya hal dan baik (toyyib),
- Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai komoditas,
- Tidak mengandung unsur riba,
- Tidak mengandung unsure kezaliman,
- Tidak mengandung unsur maysir,
- Tidak mengandung unsure gharar,
- Tidak mengandung unsure haram,
- Tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time value of money) karena keuntungan yang didapat dalam kegiatan usaha terkait dengan resiko yang melekat pada kegiatan usaha tersebut sesuai dengan prinsip al-ghunmu bil ghurmi (no gain without accompanying risk),
- Transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk keuntungansemua pihak tanpa merugikan orang lain sehingga tidak diperkenenkan menggunakan standar ganda harga untuk satu akad serta tidak menggunkan dua transaksi bersmaan yang berkaitan(ta’alluq) dalam satu akad,
- Tidak ada distori harga melalui rekayasa permintaan(najasy), mupun melalui rekayasa penawaran, dan
- Tudak mengandung unsur kolusi dengan suap menyuap(risywah).
Jika dilihat memang syariah sekarang ini cukup menarik perhatian. Dimana pengguna lembaga syariah bukan lagi mereka yang hanya beragama Islam, namun mereka yang menganggap bahwa kebijakan Syariah sangatlah menguntungkan dan juga lebih mudah diaplikasikan. Apalagi bagi mereka yang memiliki niat untuk usaha tanpa memiliki dana ataupun sebaliknya. Syariah dianggap salah atau cara yang paling aman tanpa merugikan dan menipu salah satu pihak.